Sebuah Email Cinta Untuk Sayangku
By: Erwin Arianto
Depok, 10 Maret 2008
Yogya, tanggal tertentu, itulah awalan yang selalu kutulis dalam mengawali email cintaku kepadamu, dengan stempel waktu yang tidak pernah aku gubris, tetapi semua disana semua rasa tertulis untuk diirmu yang termanis sayangku.
kuketik lagi sebuah email cinta ini untukmu, sayang sebagai suatu sapaan atau tepukan kecil dihatimu yang memang tak begitu lapang (kamu masih tetap wanitaku, bukan?). Tahukah kamu, sayang, di tengah gemeretak letihnya badanku dalam menebah masalah-masalah juang semesta, momen-momen mengetik email cinta inilah yang begitu aku sukai. Aku sudah lama memang tak datang ke tempatmu, tapi percayalah aku selalu menyempatkan diri menguraikan tubuhku bersama udara pertama yang kau hirup waktu bangun pagi. Aku juga tak kurang gemar menindih alam tepian sadarmu, sehingga kamu sering memutuskan untuk tidur kembali dan bolos bekerja. Demikianlah seterusnya, dan aku tak sempat berfikir untuk melupakanmu atau bahkan aku tak sanggup sedikit pun untuk membencimu cinta.
Tapi, sayang, aku berjanji untuk selalu meluangkan waktuku demi mengurai rasa ini barang sesaat. Debarku bertanya apa gerangan yang dilakukan cinta bestariku dalam derap dekap harinya? Itulah alasan termegah mengapa aku selalu mengetuk sebuah batang ajaib itu tiap harinya, hanya untuk mendengar merdu ocehan mu, Dan itu membuatmu merasa tak nyaman, bukan? Kalau kamu merasa terganggu dengan teror manis itu, maafkanlah aku. Seperti halnya miliaran manusia di rumah awan, diri ini masih belajar menganyam jiwa.
Semoga kamu yang tercantik juga sedang mengalaminya, sehingga aku tak perlu bersusah payah meminta maaf untuk keseribu kalinnya. Kamu memang penuh dengan kesalahan kok, sayang. Kamu sekarang sudah menjadi cukup besar untuk ukuran manusia, dan aku menyukai itu. Karena aku sadar bahwa kamu adalah manusia biasa yang bisa aku sayangi, bukannya peri kecil atau cupid dungu dalam mimpi-mimpiku yang tertib. Tapi cinta, kini Aku terlalu takut kamu pergi dan sirna dalam buaian hari-hari ini, seperti halnya mereka yang bergegas menghilang kala induk semangku mengetuk pintu kamar untuk membangunkanku. Dan aku menyukai itu, karena aku bisa selalu berharap akan pertemuan kita selanjutnya dalam taman-taman yang memiliki bunga warna-warni yang akan selalu kupersembahkan untukmu.
"Sayang Terimakasih" itulah ucapan yang selalu aku tuliskan dalam email-email cintaku terdahulu yang kukirim pada tiap inbox mu, yang mungkin penuh dengan ungkapan mesra dariku. semua itu bukanlah kata-kata sayang. "Mas Aku mencintaimu" kalimat itu yang ingin kudengar dari mu. seperti dulu, kita membutuhkan seperti angin dan bidadari. angin yang selalu menerbangkan bidadari untuk menggapai mimpi yang termiliki.
Tahukah kamu, sayang, bila kalender menunjukan warna merah berarti aku libur, aku selalu memilih berdiam diri di kamar dan menderetkan secara berurutan kenangan-kenangan tentang aku, tentang kamu, tentang kita. Aku lalu memutarnya bagai slide-slide film. Aku terbahak-bahak, mengerutkan muka, mengangkat bahu, dan....menangis sambil menggigit ujung bantalku. Aku sebenarnya malu untuk mengatakannya, tapi berhubung aku sudah pernah bugil sekali didepanmu, maka aku pikir adakah lagi yang perlu untuk diberi malu? teringat Kau tertawa tapi terdengar sumbang. Tak ada simpati atau apalagi empati di bibir yang penuh itu. Bibir yang sangat sanggup menggetarkan syahwatku.
Sayang, dimanakah kamu saat ini, dan dalam keheningan malam aku selalu mengadu kepada sang pencipta, dengan lelehan air mata, dengan seribu pengharapan kita akan bersatu, dalam buaian kasih berpadu cinta. memaknai semua yang ada sayang.
"Begitulah aku. Begitulah kamu. Begitulah kita." "Kenapa mesti begitu kalau sebenarnya kita bisa bersama, selalu bersama?" Cantik tapi suka memojokkan. Batinku menyeringai Tapi, demi kau yang selama ini kusetiai, aku mengangguk kalah. "Sama," kataku. teringat percakapan kita yang terlena dalam waktu-waktu yang telah lama.
Yang mengherankanku adalah kenapa setiap aku mengingat awal-awal perkasihan kita, gambar yang muncul di otakku selalu berwarna hitam putih. Tapi setelah aku rumit-rumitkan sendiri, mungkin itu ada hubungannya dengan kepolosan kita waktu itu. Pilihan kita berkisar: baik atau buruk, salah atau benar, hitam atau putih.....dan hal-hal dikotomis lainnya. Tentu tak seperti yang terlukis pada dua tahun terakhir berselang, di mana kita sering membenamkan generalisasi, pengtotaljendralan, dan mulai membikin teori kita sendiri untuk kasus per kasus. Ketika kamu datang kepadaku saat aku dalam keadaan jatuh, dan hati ini membutuhkan sebuah rasa yang menggelora tapi kini, Banyak hal telah berubah, sayang, termasuk kita, aku, dan tentu saja kamu.
Sayang, aku pun pernah datang ke waktumu lagi, hanya untuk menatap bening dua bola matamu yang bersembunyi di balik dua kacamatamu yang indah, yang ingin kucungkil keluar dan kuawetkan agar aku bisa terus memandang mu tanpa jemu sayang. Atau ketika kita berbonceng sepeda ontel untuk mengitari kota ku ini pada gelap malam, kita menyusup dalam mimpi-mimpi yang belum terpetiki malam itu, terkadang kau boncengi aku dengan senyumu yang sumringah, sebuah senyum yang bisa memenjarakan rasa karena rasa kelembutan itu?
Dalam menapaki waktu kembali, kulihat kau sedikit tambun, tetapi tetap cantik dengan kulit putih bersih itu, yang harum ribuan mawar yang memanjakan indraku dengan bias-bias kecantikanmu yang tak akan lekang dari angan yang inginku tentang kita. kamu masih seperti dulu sayang, kamu masih bidadari hati ini, dengan guyonan khas mu, dan sederet gigi putih itu yang menawan memberi rasa menambah merdu irama suaramu yang sumbang itu.
Baru sekarang aku sadar sepenuhnya. Ternyata kita hanya bermimpi. Mimpi menjejakkan hati kita ke bumi. Mimpi menggantungkan rasa kita di awan. Mimpi meronce barisan hujan. Mimpi dipeluk hembusan angin. Mimpi bercinta dengan bintang-bintang di sepanjang malam.
Seperti aku katakan di awal surat cinta ini, sebenarnya momen-momen menulis kepada dirimu adalah rajangan-rajangan waktu yang terindah bagiku; seumpama menemukan Tuhan di lemari pakaianku. Tapi jika aku meneruskannya sayang, bukankah aku terlampau egois membiarkanmu menunggu datangnya galur-galur hati ini. Karena itu, sayang, bolehkan aku menyudahinya secara cantik dengan ucapan: "Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh." Peluk cium kasihku menyertaimu dalam menghirup dan membuang nafas maupun nifas. Selamat menempuh hidup baru sayangku, semoga tidak mati terlalu cepat, terlalu banyak mimpi-mimpi yang belum terpetikan olehmu. Terbanglah kepakan sayap indah itu dan aku akan selalu berada di waktumu.(EA)
Label: Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar