Mungkin aku seorang yang jarang menggunakan panca indra ku yang satu ini, selain untuk makan maka panca indra yang satu ini lebih banyak tidak ku gunakan, mungkin karena karena aku kurang pandai dalam merangkai kata-kata yang harus kucapkan dengan lisan, tapi bukanya aku tidak bersyukur atas sebuah anugrah yang luar biasa yang diberikan Allah kepadaku.
Alasanku adalah semenjak kanak-kanak orang tuaku sering memberiku sebuah wejangan agar aku lebih sering menggunakan panca indra pendengaran ku, maksud yang kutangkap adalah mungkin aku harus bayak mendengar nasihat kedua orang tuaku. karena mereka orang tua ku, aku selalu patuh dan tunduk dengan apa yang dinasihati kepadaku, jadi entah karena memang aku yang penurut membuat aku jadi sungkan menggunakan mulut ku ini untuk bicara yang tidak terlalu penting.
Hal ini terus berlangsung dari aku Sekolah, Kuliah dan Bekerja aku membuat karakter diriku lebih menjadi pendengar daripada pembicara. Dalam kehidupan sehari-hari, aku menjadi manusia yang jarang sekali menggunakan mulut, mungkin orang akan bosan menunggu aku mengeluarkan kata-kata yang memang sangat berharga.
aku entah bagaimanah kata-kata "diam adalah emas." menjadi kata favoritku, memang Ada untung, walaupun ada pula ruginya. Untungnya, aku menjadi manusia yang jarang salah ngomong dan sekali berkata, aku selalu didengar orang, seperti orang bijaksana hehehe. Ruginya, aku tidak terlalu dikenal di mata rekan-rekan entah ketika masa kuliah dulu, atau sekarang ini di tempatku bekerja.
Bahkan, disekitar kompleks tempal tinggal pun, kalau ada rapat RT atau karang taruna pun aku tidak pernah diundang, gara-gara orang kurang mengenalku. Terus mau apa coba? Aku memang tidak bisa bergaul, karena di dalam pergaulan yang dibutuhkan adalah bicara, bicara, dan bicara. Mungkin karena itu pulalah aku jadi suka mencari kesibukan sendiri. aku suka berkarya sendiri. Kalau hari kerja, ya, memang tak ada kesibukan lain selain mengerjakan tugas kantor. Tapi bila hari libur, maka aku akan berusaha mencari kesibukan di rumah, atau mungkin aku akan memilih tidur.
Tapi pada suatu kali ketika Libur, aku berniat mengecat rumahku. Kebetulan yang akan kucat memang bukan seluruh dinding rumah, tapi hanya beranda dan pagar tembok yang tak seberapa itu. Setelah kubayangkan warna Tepat yang akan mengisi warna rumahku, aku pun ke toko material mencari cat dan peralatan lainnya, sesuai yang kubutuhkan untuk mengecat dinding rumahku, karena memang sudah terlihat agak kusam.
Pulang dari Material dekat ruamah, belum lagi ku kunci pintu pagar,tiba-tiba Mang Adang datang, Mang Adang adalah orang yang biasa mengerjakan renovasi rumah di komplek kami, dia entah kebetulan atau memang sengaja lewat di depan rumahku. Setelah dia mengeluarkan jurus basa-basinya yang memang sudah basi menurutku, tetapi tetap kujawab walau hanya dengan sebuahsenyum, dia bertanya aku akan ke mana, dan kujawab akan membeli cat tembok. Tanpa kuduga dia langsung bicara panjang lebar soal harga cat, sampai warna. Dia, tanpa kuminta langsung mengeluarkan ilmunya soal cat dan aku tak bisa lain kecuali mendengarnya dengan kesabaran. Entah ke mana saja arah bicaranya, yang kutahu pada akhirnya dia menawarkan diri mengecat tembok rumahku.
Aku tertawa kecil dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, mana kuat saya bayar Mang Adang." Dia hanya tertawa saja, tapi tetap bersikeras agar pekerjaan tersebut diserahkan kepadanya. "Pokoknya, Pak Hendra terima beres saja euy... Daripada tangannya belepotan cat, kan, enggak pantas untuk orang seperti pak hendra ini?" imbuhnya sambil tetap merayuku untuk bisa memberi pekerjaan itu kepadaku. "Ongkos tukang catnya, berapa per hari mang?" tanyaku sekadar ingin cari celah untuk menolaknya. "Ah, kayak enggak kenal saja, pakai nanya pisan..." jawabnya sambil tertawa entah apa maksudnya, aku tidak paham.
Begitulah percakapanku dengan Mang Adang. Akhirnya dialah yang mengerjakan pengecatan dinding rumahku. Anehnya, ongkosnya selalu di rahasiakan, seakan aku sudah biasa menyuruhnya mengecat rumahku. Sementara aku masih saja memikirkan kira-kira berapa biayanya ya.... Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar dan membiarkan dia bekerja. Kusibukkan diriku dengan membaca apa saja. Entah bagaimana aku meraih sebuah buku, oleh-oleh dari seorang kawan dari luar negeri.
Karena terlalu menikmati bacaan itu tak terasa waktu bergulir terasa cepat sekali, dan tiba-tiba mang adang mengetuk pintu ruang tamu. aku bertanya kepadanya "Ada apa, Mang Adang?", Sudah selesai..." jawabnya dengan raut muka kurang senang. Kulihat jam pada Handphone ku, sudah jam setengah empat sore waktu yang ditunjukan Jam yang ada pada HP ku, memang hanya sedikit yang harus dikerjakannya. "Berapa ongkosnya nih mang adan, ?" tanyaku kemudian "Terserah sajalah... soalnya, ya, gimana, ya. Ini, kan, enggak seberapa..." jawab mang adang dengan nada yang menusukku. "Tadi, kan, saya sudah bilang, kalau ini pekerjaan enggak seberapa, dan juga soal biayanya... ya, kan?" aku berargumen untuk tak mau kalah. Tapi, tampaknya dia tidak bisa menerima sanggahanku. Dia terus menggumam tak jelas.
"Bilang saja berapa mang adang, saya bayar..." kataku seraya mencabut dompet. "Wah, jangan begitu Mas Hendra. Masak saya mau narik ongkos lebih mahal dari harga catnya," ucapn mang adang sambil tersenyum kecewa."Kalau memang begitu, ya enggak apa-apa. Ini mohon diterima..." kataku sambil mencabut selembar uang Rp 50.000 dan kuserahkan kepada mang adang. Mang Adang tak bicara lagi dan dia langsung pulang. Terus terang aku kesal, mana mungkin hanya mengerjakan tak lebih dari 15 meter persegi, aku harus mengeluarkan upah Rp 50 ribu. Tapi, ya, mau bilang apa?
Beberapa hari kemudian, kebetulan aku diundang teman yang mengadakan akekah untuk anaknya yang baru lahir. Di tempat itu pun aku merasa hanya sebagai pendengar, mendengarkan orang bicara soal politik, soal sepak bola, soal perempuan, soal anak-anak, narkoba, dan entah apa lagi. Rasanya begitu banyak pengetahuan mereka soal topik-topik itu, sementara aku merasa tak tahu apa-apa. Gelak tawa dan canda ria berhamburan di sekitarku dan seakan tak mau menyentuhku sama sekali, memang karena aku sebenernya kurang suka ada diacara seperti ini kalau boleh memilih mungkin aku akan tetap dirumah, membaca buku atau menonton Televisi.
Sebuah Percakapan dari tetangguku menarik perhatianku: soal mang adang. Mas Aan, seorang tamu juga, yang bicara soal Mang Adang, segera keluar minatku untuk bertanya lebih banyak. Katanya, dia kemarin menyuruh Mang Adang merapikan klosetnya. Sambil bekerja Mang Ada berceloteh bahwa dia kecewa karena pernah disuruh orang kompleks mengecat rumah dan dibayar murah sekali. Biasanya dia dibayar Rp 100.000 per pekerjaan mengecat rumah, tapi cuma dibayar kecil. Begitu tutur Mas Aan. Nyaris saja aku bertanya soal siapa yang menyuruh mang Adang, Karena ada rasa kesal yang bergemuruh di dadaku dan aku ingin menanyakan berapa jumlah uang yang diterimanya, tapi aku berusaha menahan rasa kesal ku itu. Tapi, yang membuatku jadi lebih kesal adalah ketika kudengar bahwa Mang Adang berkomentar soal luasnya tembok yang harus dicat. Katanya, "Cuma ngecat se-emprit saja pakai nyuruh orang. Kayak bos saja. Kayaknya enggak mau kotor." Entah apa yang kemudian diceritakan Mas Aan, rasanya aku sudah tak tahu lagi.Terus terang aku marah sekali pada manusia "kancil" satu itu. Bagaimana mungkin dia bisa memutarbalikkan ucapan dan membuatku seperti orang paling jahat di dunia. Sejak saat itu, aku berjanji tak akan menyuruh dia lagi untuk melakukan pekerjaan apa pun.
Suatu kali, aku berniat mengganti rumput di halaman rumahku. Tak seberapa luas memang, tapi jika diganti dengan rumput golf, kok, kayaknya bagus. Tanpa pikir panjang, aku pergi dan membeli rumput tersebut. Ketika aku asyik mencangkuli halamanku, tiba-tiba si "setan" itu muncul lagi.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia mulai berkomentar soal rumput. Namun, kali ini tak kuhiraukan sama sekali. Ketika, sebagaimana kuduga, dia akhirnya meminta pekerjaan itu, aku cuma menjawab bahwa aku bukan sok bos yang hanya bisa menyuruh-nyuruh orang. Aku memang bermaksud menyinggungnya, tapi badak juga dia rupanya. Entah bagaimana, akhirnya dia pergi dan itu membuatku lega. Akhirnya menjelang sore taman yang kuingin kan selesai juga, aku pun tersenyum puas.
Esok paginya aku berangkat kerja di bus yang mengantar aku ke kantor, aku bertemu teman-teman satu kompleku. Setelah basa-basi sedikit, akhirnya ada satu kalimat yang membuatku harus menahan amarah. Menurut salah seorang itu, entah siapa, Mang Adang menggerutu bahwa di kompleks ternyata masih saja ada yang bermental petani. Orang itu, kata Mang Adang, rumahnya bagus, Barang-barangnya mewah, tapi tak mau memberikan sedikit mata pencarian bagi orang semiskin dia. Padahal, tambahnya, rumput yang digantinya itu cukup luas, yang menurutnya bisa memberinya 10 - 20 ribu rupiah sekadar buat makan hari itu. Hal itu cukup merusak acara pagi ku, karena aku tahu yang dimaksud mang adang adalah aku.
Ketika aku duduk dan menatap pemandangan di luar kereta, aku tak bisa mengerti tentang apa yang baru kualami ini. Kereta api membawaku ke suatu tempat yang jauh dari kompleks rumahku, tapi yang mungkin akan membawaku kepada lingkungan yang tak jauh berbeda dari apa yang ada di sekitar rumahku. Aku mulai berpikir, mungkin kini saatnya aku harus banyak bicara, entah benar, entah salah. Yang penting bicara. Dengan berbicara, mungkin orang akan segan kepadaku. Mungkin. semenjak itu aku pun tidak berjanji tidak akan irit lagi untuk mengelurkan suara, aku pun berfikir tidak mungkin Tuhan menciptakan mulut dan suara kalau tidak bermanfaat bukan... atau memang orang-orang senang berbicara memutar balikan fakta ya.. tapi untuk apa aku pun terus mencari jawaban yang tidak dapat kutemui jawaban itu.
Label: Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar