Jilbab Biru
Gubahan Dari Cerita : Ketika Mas Gagah Pergi
Mas Ariesta Wirastiawan, telah bekerja disuatu perusahaan yang cukup baik. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !dahulu Mas Ariesta juga udah mampu membiayai Kuliahnya sendiri dari hasilmengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami.Iaselalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang Kuliah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku. Karena kami berdua adalah yatim piatu.
sampai saat ini dia Bekerja di suatu perusahaan dan dia juga memiliki kios koran di stasiun, dia melakukan itu untuk membiayai kehidupan ku dan kuliahku. dialah satu-satunya saudara yang kumiliki didunia ini.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Ariesta yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan mobil hasil jerih payahnya sebuah
sedan putih ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan- Ancol. "aku Ingin Membahagiakan Adikku satu-satunya" begitulahmas Ariesta selalu berkata, karena dia sangat menyayangiku.
Tak ada yang tak menyukai Mas Ariesta. Jangankan tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya. "Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?" tanya banyak teman ku "Sari, gara-gara kamu bawa Mas Aries ke rumah, sekarang orang rumahkusuka membanding-bandingk an teman cowokku sama Aries lho! Gila, berabe
kan?!""Gimana ya Sar, agar Mas Ariesta suka padaku?"
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cumamesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Ariesta mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kerja. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran, . Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Ariesta pura-pura serius. "lebih baik mas biayain buat adikku yang cantik satu ini" mas Ariesta sambil memainkan poni rambutku.akupun hanya bisa tersenyum ringan.
Mas Ariesta dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Ariesta! Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan
ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Ariesta yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Ariesta! Mas! Mas Arieeesssta! " teriakku kesal sambil mengetuk Padahaltadi aku lihat Mas
Ariesta ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Ariesta. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisamembaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu'alaikum! "seruku. Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Ariesta.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa sari? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. "Matiin kasetnya!"kataku sewot. "Lho memangnya kenapa?""Sari kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Ariesta! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku
cemberut."Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Sari!""Bodo! "teriakku
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Ariesta sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Sari ngambek.., Mas bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." iya inilah rumah peninggalan warisan orang tua kami, tidak bagus tapi cukup untuk kami berdua melanjutkan hidup.
"Tapi kuping Sari terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Nidji yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!" "Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…""Pokoknya kedengaran!" "Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Sari ndak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Ariesta. Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Ariesta jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Nidji, Dewa, Letto, Queen, Glen Fredlynya?" mas Ariesta adalah seorang pecinta lagu JAZZ, kenapa sekaranng menyukai Nasyid.
Aku sekarang berkuliah, di UNJ, Jurusan Akuntansi,dan IP ku termaksud bagus, aku hampir menyelesaikan studi ku, aku sekarang sedang mengulang Mata kuliah yang paling ku benci, audit, dan Statistik bisnis, untuk audit aku telah melakukan pengulangan selama 3 kali. kata mas Ariesta, aku naksir dengan dosennya, jadi aku mengulang terus. aku hanya tersenyum mendengar
penuturan mas ariesta tersaebut
Aku sering curhat dan berbagi dengan mas ariesta, tentang cinta, kampus, pelajaran, atau apapapun, mas ariesta adalah orang yang cerdas, dia sering membantu aku belajar akuntansi, aku selalu salaut dengan kakakku semata wayang itu. dia yang mengambil alih menanggung biaya hidup ami setelahorang tua kami meninggal.
"Wah, ini nggak seperti itu Sari! Dengerin Nidji atau Dewa belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Sari mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Ariesta. Oala...
Di satu sisi kuakui Mas Ariesta tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang
dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Sari, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas Ariesta oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. saja! Mas Ariesta juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Sarong, bukan Sari! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Ya, dalam pandanganku Mas Ariesta kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan Hansip yang biasa berkeliling lingkungan kami. "Untung aja masih lebih ganteng."
Mas Ariesta cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Ariesta lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Ariesta nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah
kebingungan. "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan samaTasya teman ku? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Sari tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya,
lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Sari lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!" Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya? " Mas Ariesta membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca! " Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim." Mas Ariesta tersenyum.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Ariesta sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?" Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Ariesta dengan mangkel.
Hasil penyelidikan ku berhari-hari, ternyata mas Ariesta sedang jatuh cinta dengan seroang yang taat, Namanya adalah Hening dwiastuti, seorang yang cantik dan lincah, tapi dia taat sekali, baru kali ini aku lihat mas ariesta begitu jatuh cinta. hal itu yang membuat mas ariesta berubah.
"Mas lagi jatuh cinta ya.." selidiku, "tidak.." mas ariesta menjawab dengan muka yang merona merah. "kalau mba hening siapa mas" dengan nakal ku bertanya kepada mas ariesta. Mas ariesta hanya tersenyum dan berlalu.
"Mau kemana Sari?" tanya mas airesta
"Nonton sama temen-temen. " Kataku sambil mengenakan sepatu.
"Habis Mas Ariesta kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya." "Ikut Mas ajayuk!" "Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Sari kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Ariesta mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan
memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Ariesta menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
************ ********* ******
Tertulis sebuah nama dalam diary mas Ariesta "Hening, Sosok muslimah yang menyentuhku qolbuku, aku ingin menjadikannya sebagai istriku" Ternyata mba hening begitu berpengaruh dalam kehidupan mas ariesta, dan ketika kembali membaca diari mas ariesta "aku Ingin menikah, dengan hening, tapi belum ada biaya, dan bagaimana dengan Sari belum lulus kuliah, aku harus menanggung biaya sari, dan aku harus belajar menjadi kepala rumah tangga. "Ya Allahyang maha pengasih lagi maha penyayang bantu lah aku berikan aku jalan atas cobaan yang terindah yang sedang aku hadapi"
"mas Kok sekarang jarang pakai celana jean belelnya, dan sekarang mas ariesta jelek tidak kayak cover boy lagi" celetuku pada suatu hari kepada mas Ariesta. Mas Ariesta cuma senyum. "Suka begini sar. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
"mas memang kalau dalam islam tidak boleh pacaran ya" tanya ku sepontan kepada mas ariesta. "tidak kalau islam murni kita tidak boleh pacaran, melihat muka wanita pun tidak boleh, haram hukumnya" mas ariesta menjelaskan kepadaku, "memang kenapa apa kamu lagi jatuh cinta lagi" mas ariesta menanyakan kepadaku.
Menurutku Mas Ariesta saat ini terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dialagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sokagamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas ariesta orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh empattahun tetapi sudah menyelesaikan kuliah di FT-UI, bahkan sudah bekerja dan memiliki usaha sendiri. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
"Assalamualaikum! " terdengar suara beberapa lelaki.Mas ariesta menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Ariesta dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas ariesta. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Ariesta.
"Lewat aja nih, Sari nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Ariesta yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Ariesta bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.Mas ariesta menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab yaa begitu deh!
"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru dian setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya."Ikhwan? ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?"
Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin kampusku melirik kami. "Hus..., untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Dian sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di kampus ini."
"Oh apakah ini karena pengaruh mba hening, atau memang keinginan mas ariesta untuk menjadi ikhwan ya..?" otak ku terus berfikir mencoba menerka penyebab mas ariesta berubah
"Dian, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Ariesta" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih" tututku ke dian, dan dian hanya tersenyum saja. "yan apakah dalam islam kita tidak boleh pacaran, aku menduga perubahan mas ariesta karena sesorang wanita bernama hening, sepertinya mas ariesta sangat menyukai hening, dan itu sebab mas Ariesta
berubah" tanya ku ke dian "Udah deh Sar. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya
Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, ahmad atau Mas Ariesta bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham. dan Kalau itu yang menyebabkan
mas Ariesta berubah itu hanya jalanya untuk mas ariesta berubah, yang sebenarnya Allah telah membukakan pintu hatinya, ikhlasin aja, kan mas ariesta sudah dewasa, mungkin sudah waktunya menikah" dian menjelaskandengan bijak tetang pertanyaanku.
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Dian, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa. "Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap
dekat Dian mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Dian tiba-tiba. orang tua dian sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri, karena aku juga menganggap mamanya dian adalah ibuku sendiri
"nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Fika
"Mbak fika?" tanyaku
"Sepupuku yang kuliah di jerman! Lucu deh, pulang dari kuliah di jerman malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah." dengan ekspresi bingungku
"Nginap ya.lagian kan sekarang malem mingu, Kita ngobrol sampai malam denganMbak fika!"
"Assalaamualaikum! " Aku mengucapkan salam
˜Eh adik Mas Ariesta! Dari mana aja? selesai kuliah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Ariesta pura-pura marah, usai menjawab salamku.
kulihat mas ariesta sedang membaca buku "Mas lagi baca buku apa... Tunjukkin dong, Mas...buku apa sih?" desakku.
"Eiit, eiitt Mas Ariesta berusaha menyembunyikan bukunya. Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah
memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Ariesta juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku tersebut "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" teriaku. "mas kamu mau nikah ya..?, tanya ku kepada mas ariesta setelah kami selesai membaca buku tersebut.
"sar, mas mau bicara agak serius sar" mas ariesta memasang muka serius kepadaku. "Iya bicara aja, memang kenapa mas" jawabku kepada mas ariesta. "Sar, mungkin mas berkeinginan menikah dengan seseorang ahkwat" terang mas Ariesta kepadaku.
"Sari akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Sari akhwat atau bukan? Ayo jawab" tanyaku manja.
Mas ariesta tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Ariesta yang dulu.
Mas Ariesta dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya."Mas kok nangis?"
"Mas jujur mas takut kamu, tidak bisa beradaptasi dengan hening, dengan islam, mas takut tidak bisa membiayakan kamu, kamu adalah adik mas, mas sayang kamu, kamu tanggung jawab mas, kamu rela tidak jika suatu saat mas menikah sar..?" Penjelasan yang dalam dari mas Ariesta, seperti air yangselama ini tersumbat mengalir begitu lancarnya kepadaku. Sesaat kami terdiam. Ah Mas Ariesta yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli
"Memangnya sari ngerti yang Mas katakan?" tanya mas
"Tenang aja. Sari bisa ngerti kok!" kataku jujur.Ya, Mbak fika juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam. Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas ariesta. dan aku memikirkan tentang keinginan menikah mas Ariesta.
************ ******
3 bulan berlalu, suatu hari mas ariesta berkata kepadaku "Sar besok mas mau meminang Hening, mas mohon doa dari sari, karena sari satu-satunya saudara mas yang mas miliki, besok temani mas ya"
mas ariesta berkata kepadaku. "sari ikhlas mas, sari ridho mas ariesta menikah, karena sudah banyak pengorbanan mas ariesta kepada sari, mas telah menggantikan mama-dan papa"
Dan esok harinya ditemani oleh teman-teman pengajian mas ariesta, kami menuju rumah hening calaon mempelai mas Ariesta, dan mas ariesta mengutarakan keinginan untuk meminang hening dan menikahi hening.
"Assalamualaikum, ya bapak orang tua hening, saya kesini bertujuan untuk melamar hening dan ingin menikah dengan hening, semoga kedatang saya ini mendapat ridho dari Allah" begitulah mas ariesta berbicara kepada orang tua hening, tanpa wali mas ariesta begitu gagah, lembut, tenang dan berwibawa. Acara dirumah mba hening begitu islami, tamu-tamu pun duduk terpisah dengan nuansa islam yang kental. dan dari acara pelamaran tersebut diputuskan akan diadakan pernikahan 5 bulan lagi.
Pernah juga Mas Ariesta mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Ariesta memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.Aku hanya nyengir kuda.
Tampaknya Mas ariesta mulai senang pergi denganku atau inikah detik-detik sebelum pernikahnya, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan."Nyoba pakai jilbab. sari!" pinta Mas ariesta suatu ketika."Lho, rambut sari kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh mas.
Mas ariesta tersenyum. "sari lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak dian,sahabat mu."
"Sari mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Ariesta seolah mengerti jalan pikiranku.Akumengge lengkan kepala.
********************
Suatu hari diadakan ceramah di kampusku. Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Ariesta. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan kampusku yang dibuka untuk umum ini, Mas ariesta menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Ariesta-ku!"
Mas Ariesta tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Ariesta fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Ariesta kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Ariesta berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai
identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Ariesta.Mas ariesta terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang kuliah, aku mampir ke rumah Dian. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Fika yang masih ada ditempat dian senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Ariesta. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Ariesta. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
"Mas Ariest! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Ariesta dengan riang.
"Mas Ariesta diundang ceramah ke bogor" sebuah surat tergeletak di ruang kamar mas ariesta. Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Ariesta.
"assalamualaikum. ." dian mengetok pintu rumahku, tadi aku sengaja menelphone dian untuk menemaniku karena aku kesepian dirumah sendiri. "Waalaikumsalam wr.wb" sahutku " Dian masuk aja, aku lagi nyuci piring nih" kataku mempersilahkan dian masuk
"Eh, jilbab sari mencong-mencong tuh!" Dian tertawa.Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Dian. Sudah lepas Isya Mas ariesta belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur dian lagi. Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas ariesta belum pulang juga. "Nginap barangkali, sar." Duga dian
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Ariesta segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg! " telpon berdering.
"Hallo. Ya betul. Apa? Mas Ariesta?"
"Mas Ariesta" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Rumah sakit pasar rebo. Aku dan dian menangis berangkulan.
Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Ariesta terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah mobil menghantam Motor yang dikendarai saat Mas Ariesta, sedang fotocopy bahan ceramahnya.satu teman mas ariesta, mas hendra tewas seketika sedang Mas
Ariesta kritis.Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
Dan Kulihat mba Hening dan beberapa kawan mas ariesta sudah berkumpul disana.. "Sabar ya sar" suara lembut mba hening memberiku semangat. Tanpa kusadari kupeluk mba hening calon kakak iparkku. "terus berdoa untuk Mas Ariesta"
"Bagaimana keadaan kakak ku Dok" tanya ku kepada dokter. "Berdoa saja ya dik.. sekarang kondisinya parah, masih pendarahaan. . darah masih keluar dari kuping dang hidungnya, kondisinya 13%, sedangkan selama ini yang pasien yang bertahan hidup daya peluangnya sekitar 17% jadi dibawah kondisi normal, bantu doa saja semoga ada mukjijat" Dan seketika aku pingsan mendengar
penjelasan dari dokter.
"Sar..sari.. ." terdengar sayup-sayup suara mba hening, " dan kubuka mataku, "dimana aku... bagaimana kondisi mas ariesta" tanyaku sambil terus terurai air mata. "Sabar ya sar.. mas Ariesta telah ditemani ahmad dan kawan-kawan pengajian lainya" mba hening menenangkan ku, "dan untuk sementara aku nginap di rumah kamu, untuk jaga-jaga sar" mba hening memberi tahuku.
"Sar, aku juga sudah ijin sama mamah, dan aku bersama mba fika akan menginap juga disini sar" dian sahabatku berada di samping mba hening.Malam itu, di rumah ku, banyak kawan mas ariesta datang, ihkwan dan ahkwat teman sepengajian mas ariesta menggelar pengajian untuk mendoakan kesembuhan mas ariesta.
"mba hening aku mau ke rumah sakit, aku mau menunggui as ariesta" pintaku kepada mba hening, "Oke besok aku antar sar" jawab mba hening kepadaku.Keseokan a "Dian, Mba fika, saya titip rumah ya, saya mau antara sari kerumah sakit, kebelan saya bawa mobil untuk kesana" mba sari memberi tahu kepada dian dan mba fika.
************ *********
"Dok ijinkan saya masuk k untuk menemui kakak saya" pinta ku kepada suster, "Maaf dik, belum bisa, karena kondisinya belum stabil" jelas suster kepada ku.
" Tetapi saya Sari adiknya, su! Mas Ariesta pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku. Mba hening merangkulku. "Sabar sayang, sabar." Di pojok ruangan sahabat mas ariesta dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas
Ariesta. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Ariesta akan hidup terus kan, suster? Dokter? " tanyaku. "tuhan, Mas ariesta bisa hidupkan, karena dia satu-satunya saudara yang kumiliki" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Ariesta, sembuh ya, Mas..Mas..Ariesta, Sari udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Ariesta" bisikku setengah lirih.
Setalah tiga hari kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan beberapa orang sahabat mas ariesta dan seorang bapak tua paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Ariesta. Sari, Mba hening,butuh Mas mas Ariesta, eh umat juga butuh juga deh sosok mas ariesta."
"tuhan jika kau berikan kesembuhan pada mas ariesta aku, akan selalu memakai jilbab ini, dan aku berjanji akan merubah hidupku, aku akan lebih mendekatkan diri kepamu Allah" ituklah doa yang kupanjatkan saat sholat tahujud dan sholat hajat ku di koridor rumah sakit
esok Siang tak kusangka Dokter Budi yang menangani Mas Ariesta menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Sari, siapa yang bernama sari "
"Sari" suaraku serak menahan tangis. Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan sayalukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Budi mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas ini Sari Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Ariesta bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. "Sari sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."Tubuh mas Ariesta yang Gagah itu bergerak lagi.
"Dzikir Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas ariesta yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Sari"Kudengar suara Mas ariesta! Ya Allah, pelan sekali. "sari di sini, Mas" Perlahan kelopak matanya terbuka. "ku tersenyum. "Sari udah pakai jilbab" kutahan isakku.Memandangku lembut Mas Ariesta tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyakMas, " kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Ariesta terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Ariesta,aku pasrah pada
ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas ariesta.
"Laailaahailla. .llah Muhammad Ra..sul Allah suara Mas Ariesta pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa Ku dengar.
Dan detik-detik seperti ini terus berlalu selama hampir 4 minggu, seorang sahabat mas ariesta memberikan aku sebuah kotak dibungkus kertas kado berwarna pink, dia bilang mas Ariesta pergi ke tukang fotocopy selain ingin memfotokopy bahan untuk ceramah, mas Ariesta juga ingin membeli pita untuk menghiasi bungkus kado yang ingin diberikan kepadaku.
Kubuka dan kudapat kartu ucapan Mas Ariesta. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab Biru langit , manis sekali. Akh, ternyata Mas ariesta telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Dan Dokter budi, menghampiri ku. "kondisi ariesta sungguh luar biasa, ini suatu kejaiban melihat perkembanganya yang sangat luar biasa, sebenernya kami tim dokter sudah hampir lepas tangan, dan memperkirakan yang terburuk, tapi dia bisa bertahan dan mulai membaik" begitu dokter budi menjelaskan. "alhamdulillah. ." hanya itu yang ucapan yang keluar dari mulutku, dan seketika aku pun sujud syukur kepada Allah karena telah menyelamatkan mas Ariesta ku.
6 bulan berjalan, mas Ariesta telah sembuh total, dan hari ini adalah hari pernikahan mas Ariesta dan mba hening, kupakai gamis dan jilbab yang diberikannya kepada ku saat aku ulang tahun. yang merupakan kado terindah yang pernah diberikan Mas ariesta dan Allah.
"mas terimakasih, atas hadiahnya, dan selamat menempuh hidup baru, mas arista adalah harta ku yang paling berharga"dan kuberikan selamat kepada mas ariesta setelah acara akad, dan kupeluk mas Ariesta dengan lingan air mata kebahagian. Alhamdulliah ya Allah, kau bukakan hidayah yang besar kepadaku! Jilbab Biru itu kembali kuletakan dalam kotak penyimpanan yang terbaik di dalam tempat yang kubuat istimewa, dan jilbab ini adalah harta ku yang paling berharga yang kumiliki.
19 Maret 2008
Cikarang-Sanyo
Catatan: Cerpen ini gubahan dari cerpen "ketika mas gagah pergi" karangan mba Helvy Tiana Rosa. abis cerita nya keren sih
Gubahan Dari Cerita : Ketika Mas Gagah Pergi
Mas Ariesta Wirastiawan, telah bekerja disuatu perusahaan yang cukup baik. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !dahulu Mas Ariesta juga udah mampu membiayai Kuliahnya sendiri dari hasilmengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami.Iaselalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang Kuliah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku. Karena kami berdua adalah yatim piatu.
sampai saat ini dia Bekerja di suatu perusahaan dan dia juga memiliki kios koran di stasiun, dia melakukan itu untuk membiayai kehidupan ku dan kuliahku. dialah satu-satunya saudara yang kumiliki didunia ini.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Ariesta yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan mobil hasil jerih payahnya sebuah
sedan putih ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan- Ancol. "aku Ingin Membahagiakan Adikku satu-satunya" begitulahmas Ariesta selalu berkata, karena dia sangat menyayangiku.
Tak ada yang tak menyukai Mas Ariesta. Jangankan tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya. "Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?" tanya banyak teman ku "Sari, gara-gara kamu bawa Mas Aries ke rumah, sekarang orang rumahkusuka membanding-bandingk an teman cowokku sama Aries lho! Gila, berabe
kan?!""Gimana ya Sar, agar Mas Ariesta suka padaku?"
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cumamesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Ariesta mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kerja. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran, . Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Ariesta pura-pura serius. "lebih baik mas biayain buat adikku yang cantik satu ini" mas Ariesta sambil memainkan poni rambutku.akupun hanya bisa tersenyum ringan.
Mas Ariesta dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Ariesta! Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan
ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Ariesta yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Ariesta! Mas! Mas Arieeesssta! " teriakku kesal sambil mengetuk Padahaltadi aku lihat Mas
Ariesta ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Ariesta. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisamembaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu'alaikum! "seruku. Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Ariesta.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa sari? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. "Matiin kasetnya!"kataku sewot. "Lho memangnya kenapa?""Sari kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Ariesta! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku
cemberut."Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Sari!""Bodo! "teriakku
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Ariesta sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Sari ngambek.., Mas bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." iya inilah rumah peninggalan warisan orang tua kami, tidak bagus tapi cukup untuk kami berdua melanjutkan hidup.
"Tapi kuping Sari terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Nidji yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!" "Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…""Pokoknya kedengaran!" "Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Sari ndak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Ariesta. Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Ariesta jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Nidji, Dewa, Letto, Queen, Glen Fredlynya?" mas Ariesta adalah seorang pecinta lagu JAZZ, kenapa sekaranng menyukai Nasyid.
Aku sekarang berkuliah, di UNJ, Jurusan Akuntansi,dan IP ku termaksud bagus, aku hampir menyelesaikan studi ku, aku sekarang sedang mengulang Mata kuliah yang paling ku benci, audit, dan Statistik bisnis, untuk audit aku telah melakukan pengulangan selama 3 kali. kata mas Ariesta, aku naksir dengan dosennya, jadi aku mengulang terus. aku hanya tersenyum mendengar
penuturan mas ariesta tersaebut
Aku sering curhat dan berbagi dengan mas ariesta, tentang cinta, kampus, pelajaran, atau apapapun, mas ariesta adalah orang yang cerdas, dia sering membantu aku belajar akuntansi, aku selalu salaut dengan kakakku semata wayang itu. dia yang mengambil alih menanggung biaya hidup ami setelahorang tua kami meninggal.
"Wah, ini nggak seperti itu Sari! Dengerin Nidji atau Dewa belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Sari mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Ariesta. Oala...
Di satu sisi kuakui Mas Ariesta tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang
dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Sari, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas Ariesta oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. saja! Mas Ariesta juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Sarong, bukan Sari! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Ya, dalam pandanganku Mas Ariesta kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan Hansip yang biasa berkeliling lingkungan kami. "Untung aja masih lebih ganteng."
Mas Ariesta cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Ariesta lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Ariesta nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah
kebingungan. "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan samaTasya teman ku? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Sari tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya,
lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Sari lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!" Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya? " Mas Ariesta membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca! " Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim." Mas Ariesta tersenyum.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Ariesta sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?" Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Ariesta dengan mangkel.
Hasil penyelidikan ku berhari-hari, ternyata mas Ariesta sedang jatuh cinta dengan seroang yang taat, Namanya adalah Hening dwiastuti, seorang yang cantik dan lincah, tapi dia taat sekali, baru kali ini aku lihat mas ariesta begitu jatuh cinta. hal itu yang membuat mas ariesta berubah.
"Mas lagi jatuh cinta ya.." selidiku, "tidak.." mas ariesta menjawab dengan muka yang merona merah. "kalau mba hening siapa mas" dengan nakal ku bertanya kepada mas ariesta. Mas ariesta hanya tersenyum dan berlalu.
"Mau kemana Sari?" tanya mas airesta
"Nonton sama temen-temen. " Kataku sambil mengenakan sepatu.
"Habis Mas Ariesta kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya." "Ikut Mas ajayuk!" "Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Sari kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Ariesta mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan
memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Ariesta menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
************ ********* ******
Tertulis sebuah nama dalam diary mas Ariesta "Hening, Sosok muslimah yang menyentuhku qolbuku, aku ingin menjadikannya sebagai istriku" Ternyata mba hening begitu berpengaruh dalam kehidupan mas ariesta, dan ketika kembali membaca diari mas ariesta "aku Ingin menikah, dengan hening, tapi belum ada biaya, dan bagaimana dengan Sari belum lulus kuliah, aku harus menanggung biaya sari, dan aku harus belajar menjadi kepala rumah tangga. "Ya Allahyang maha pengasih lagi maha penyayang bantu lah aku berikan aku jalan atas cobaan yang terindah yang sedang aku hadapi"
"mas Kok sekarang jarang pakai celana jean belelnya, dan sekarang mas ariesta jelek tidak kayak cover boy lagi" celetuku pada suatu hari kepada mas Ariesta. Mas Ariesta cuma senyum. "Suka begini sar. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
"mas memang kalau dalam islam tidak boleh pacaran ya" tanya ku sepontan kepada mas ariesta. "tidak kalau islam murni kita tidak boleh pacaran, melihat muka wanita pun tidak boleh, haram hukumnya" mas ariesta menjelaskan kepadaku, "memang kenapa apa kamu lagi jatuh cinta lagi" mas ariesta menanyakan kepadaku.
Menurutku Mas Ariesta saat ini terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dialagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sokagamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas ariesta orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh empattahun tetapi sudah menyelesaikan kuliah di FT-UI, bahkan sudah bekerja dan memiliki usaha sendiri. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
"Assalamualaikum! " terdengar suara beberapa lelaki.Mas ariesta menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Ariesta dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas ariesta. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Ariesta.
"Lewat aja nih, Sari nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Ariesta yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Ariesta bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.Mas ariesta menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab yaa begitu deh!
"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru dian setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya."Ikhwan? ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?"
Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin kampusku melirik kami. "Hus..., untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Dian sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di kampus ini."
"Oh apakah ini karena pengaruh mba hening, atau memang keinginan mas ariesta untuk menjadi ikhwan ya..?" otak ku terus berfikir mencoba menerka penyebab mas ariesta berubah
"Dian, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Ariesta" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih" tututku ke dian, dan dian hanya tersenyum saja. "yan apakah dalam islam kita tidak boleh pacaran, aku menduga perubahan mas ariesta karena sesorang wanita bernama hening, sepertinya mas ariesta sangat menyukai hening, dan itu sebab mas Ariesta
berubah" tanya ku ke dian "Udah deh Sar. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya
Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, ahmad atau Mas Ariesta bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham. dan Kalau itu yang menyebabkan
mas Ariesta berubah itu hanya jalanya untuk mas ariesta berubah, yang sebenarnya Allah telah membukakan pintu hatinya, ikhlasin aja, kan mas ariesta sudah dewasa, mungkin sudah waktunya menikah" dian menjelaskandengan bijak tetang pertanyaanku.
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Dian, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa. "Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap
dekat Dian mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Dian tiba-tiba. orang tua dian sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri, karena aku juga menganggap mamanya dian adalah ibuku sendiri
"nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Fika
"Mbak fika?" tanyaku
"Sepupuku yang kuliah di jerman! Lucu deh, pulang dari kuliah di jerman malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah." dengan ekspresi bingungku
"Nginap ya.lagian kan sekarang malem mingu, Kita ngobrol sampai malam denganMbak fika!"
"Assalaamualaikum! " Aku mengucapkan salam
˜Eh adik Mas Ariesta! Dari mana aja? selesai kuliah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Ariesta pura-pura marah, usai menjawab salamku.
kulihat mas ariesta sedang membaca buku "Mas lagi baca buku apa... Tunjukkin dong, Mas...buku apa sih?" desakku.
"Eiit, eiitt Mas Ariesta berusaha menyembunyikan bukunya. Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah
memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Ariesta juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku tersebut "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" teriaku. "mas kamu mau nikah ya..?, tanya ku kepada mas ariesta setelah kami selesai membaca buku tersebut.
"sar, mas mau bicara agak serius sar" mas ariesta memasang muka serius kepadaku. "Iya bicara aja, memang kenapa mas" jawabku kepada mas ariesta. "Sar, mungkin mas berkeinginan menikah dengan seseorang ahkwat" terang mas Ariesta kepadaku.
"Sari akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Sari akhwat atau bukan? Ayo jawab" tanyaku manja.
Mas ariesta tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Ariesta yang dulu.
Mas Ariesta dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya."Mas kok nangis?"
"Mas jujur mas takut kamu, tidak bisa beradaptasi dengan hening, dengan islam, mas takut tidak bisa membiayakan kamu, kamu adalah adik mas, mas sayang kamu, kamu tanggung jawab mas, kamu rela tidak jika suatu saat mas menikah sar..?" Penjelasan yang dalam dari mas Ariesta, seperti air yangselama ini tersumbat mengalir begitu lancarnya kepadaku. Sesaat kami terdiam. Ah Mas Ariesta yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli
"Memangnya sari ngerti yang Mas katakan?" tanya mas
"Tenang aja. Sari bisa ngerti kok!" kataku jujur.Ya, Mbak fika juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam. Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas ariesta. dan aku memikirkan tentang keinginan menikah mas Ariesta.
************ ******
3 bulan berlalu, suatu hari mas ariesta berkata kepadaku "Sar besok mas mau meminang Hening, mas mohon doa dari sari, karena sari satu-satunya saudara mas yang mas miliki, besok temani mas ya"
mas ariesta berkata kepadaku. "sari ikhlas mas, sari ridho mas ariesta menikah, karena sudah banyak pengorbanan mas ariesta kepada sari, mas telah menggantikan mama-dan papa"
Dan esok harinya ditemani oleh teman-teman pengajian mas ariesta, kami menuju rumah hening calaon mempelai mas Ariesta, dan mas ariesta mengutarakan keinginan untuk meminang hening dan menikahi hening.
"Assalamualaikum, ya bapak orang tua hening, saya kesini bertujuan untuk melamar hening dan ingin menikah dengan hening, semoga kedatang saya ini mendapat ridho dari Allah" begitulah mas ariesta berbicara kepada orang tua hening, tanpa wali mas ariesta begitu gagah, lembut, tenang dan berwibawa. Acara dirumah mba hening begitu islami, tamu-tamu pun duduk terpisah dengan nuansa islam yang kental. dan dari acara pelamaran tersebut diputuskan akan diadakan pernikahan 5 bulan lagi.
Pernah juga Mas Ariesta mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Ariesta memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.Aku hanya nyengir kuda.
Tampaknya Mas ariesta mulai senang pergi denganku atau inikah detik-detik sebelum pernikahnya, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan."Nyoba pakai jilbab. sari!" pinta Mas ariesta suatu ketika."Lho, rambut sari kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh mas.
Mas ariesta tersenyum. "sari lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak dian,sahabat mu."
"Sari mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Ariesta seolah mengerti jalan pikiranku.Akumengge lengkan kepala.
********************
Suatu hari diadakan ceramah di kampusku. Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Ariesta. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan kampusku yang dibuka untuk umum ini, Mas ariesta menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Ariesta-ku!"
Mas Ariesta tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Ariesta fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Ariesta kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Ariesta berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai
identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Ariesta.Mas ariesta terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang kuliah, aku mampir ke rumah Dian. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Fika yang masih ada ditempat dian senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Ariesta. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Ariesta. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
"Mas Ariest! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Ariesta dengan riang.
"Mas Ariesta diundang ceramah ke bogor" sebuah surat tergeletak di ruang kamar mas ariesta. Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Ariesta.
"assalamualaikum. ." dian mengetok pintu rumahku, tadi aku sengaja menelphone dian untuk menemaniku karena aku kesepian dirumah sendiri. "Waalaikumsalam wr.wb" sahutku " Dian masuk aja, aku lagi nyuci piring nih" kataku mempersilahkan dian masuk
"Eh, jilbab sari mencong-mencong tuh!" Dian tertawa.Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Dian. Sudah lepas Isya Mas ariesta belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur dian lagi. Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas ariesta belum pulang juga. "Nginap barangkali, sar." Duga dian
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Ariesta segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg! " telpon berdering.
"Hallo. Ya betul. Apa? Mas Ariesta?"
"Mas Ariesta" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Rumah sakit pasar rebo. Aku dan dian menangis berangkulan.
Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Ariesta terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah mobil menghantam Motor yang dikendarai saat Mas Ariesta, sedang fotocopy bahan ceramahnya.satu teman mas ariesta, mas hendra tewas seketika sedang Mas
Ariesta kritis.Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
Dan Kulihat mba Hening dan beberapa kawan mas ariesta sudah berkumpul disana.. "Sabar ya sar" suara lembut mba hening memberiku semangat. Tanpa kusadari kupeluk mba hening calon kakak iparkku. "terus berdoa untuk Mas Ariesta"
"Bagaimana keadaan kakak ku Dok" tanya ku kepada dokter. "Berdoa saja ya dik.. sekarang kondisinya parah, masih pendarahaan. . darah masih keluar dari kuping dang hidungnya, kondisinya 13%, sedangkan selama ini yang pasien yang bertahan hidup daya peluangnya sekitar 17% jadi dibawah kondisi normal, bantu doa saja semoga ada mukjijat" Dan seketika aku pingsan mendengar
penjelasan dari dokter.
"Sar..sari.. ." terdengar sayup-sayup suara mba hening, " dan kubuka mataku, "dimana aku... bagaimana kondisi mas ariesta" tanyaku sambil terus terurai air mata. "Sabar ya sar.. mas Ariesta telah ditemani ahmad dan kawan-kawan pengajian lainya" mba hening menenangkan ku, "dan untuk sementara aku nginap di rumah kamu, untuk jaga-jaga sar" mba hening memberi tahuku.
"Sar, aku juga sudah ijin sama mamah, dan aku bersama mba fika akan menginap juga disini sar" dian sahabatku berada di samping mba hening.Malam itu, di rumah ku, banyak kawan mas ariesta datang, ihkwan dan ahkwat teman sepengajian mas ariesta menggelar pengajian untuk mendoakan kesembuhan mas ariesta.
"mba hening aku mau ke rumah sakit, aku mau menunggui as ariesta" pintaku kepada mba hening, "Oke besok aku antar sar" jawab mba hening kepadaku.Keseokan a "Dian, Mba fika, saya titip rumah ya, saya mau antara sari kerumah sakit, kebelan saya bawa mobil untuk kesana" mba sari memberi tahu kepada dian dan mba fika.
************ *********
"Dok ijinkan saya masuk k untuk menemui kakak saya" pinta ku kepada suster, "Maaf dik, belum bisa, karena kondisinya belum stabil" jelas suster kepada ku.
" Tetapi saya Sari adiknya, su! Mas Ariesta pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku. Mba hening merangkulku. "Sabar sayang, sabar." Di pojok ruangan sahabat mas ariesta dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas
Ariesta. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Ariesta akan hidup terus kan, suster? Dokter? " tanyaku. "tuhan, Mas ariesta bisa hidupkan, karena dia satu-satunya saudara yang kumiliki" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Ariesta, sembuh ya, Mas..Mas..Ariesta, Sari udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Ariesta" bisikku setengah lirih.
Setalah tiga hari kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan beberapa orang sahabat mas ariesta dan seorang bapak tua paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Ariesta. Sari, Mba hening,butuh Mas mas Ariesta, eh umat juga butuh juga deh sosok mas ariesta."
"tuhan jika kau berikan kesembuhan pada mas ariesta aku, akan selalu memakai jilbab ini, dan aku berjanji akan merubah hidupku, aku akan lebih mendekatkan diri kepamu Allah" ituklah doa yang kupanjatkan saat sholat tahujud dan sholat hajat ku di koridor rumah sakit
esok Siang tak kusangka Dokter Budi yang menangani Mas Ariesta menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Sari, siapa yang bernama sari "
"Sari" suaraku serak menahan tangis. Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan sayalukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Budi mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas ini Sari Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Ariesta bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. "Sari sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."Tubuh mas Ariesta yang Gagah itu bergerak lagi.
"Dzikir Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas ariesta yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Sari"Kudengar suara Mas ariesta! Ya Allah, pelan sekali. "sari di sini, Mas" Perlahan kelopak matanya terbuka. "ku tersenyum. "Sari udah pakai jilbab" kutahan isakku.Memandangku lembut Mas Ariesta tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyakMas, " kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Ariesta terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Ariesta,aku pasrah pada
ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas ariesta.
"Laailaahailla. .llah Muhammad Ra..sul Allah suara Mas Ariesta pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa Ku dengar.
Dan detik-detik seperti ini terus berlalu selama hampir 4 minggu, seorang sahabat mas ariesta memberikan aku sebuah kotak dibungkus kertas kado berwarna pink, dia bilang mas Ariesta pergi ke tukang fotocopy selain ingin memfotokopy bahan untuk ceramah, mas Ariesta juga ingin membeli pita untuk menghiasi bungkus kado yang ingin diberikan kepadaku.
Kubuka dan kudapat kartu ucapan Mas Ariesta. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab Biru langit , manis sekali. Akh, ternyata Mas ariesta telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Dan Dokter budi, menghampiri ku. "kondisi ariesta sungguh luar biasa, ini suatu kejaiban melihat perkembanganya yang sangat luar biasa, sebenernya kami tim dokter sudah hampir lepas tangan, dan memperkirakan yang terburuk, tapi dia bisa bertahan dan mulai membaik" begitu dokter budi menjelaskan. "alhamdulillah. ." hanya itu yang ucapan yang keluar dari mulutku, dan seketika aku pun sujud syukur kepada Allah karena telah menyelamatkan mas Ariesta ku.
6 bulan berjalan, mas Ariesta telah sembuh total, dan hari ini adalah hari pernikahan mas Ariesta dan mba hening, kupakai gamis dan jilbab yang diberikannya kepada ku saat aku ulang tahun. yang merupakan kado terindah yang pernah diberikan Mas ariesta dan Allah.
"mas terimakasih, atas hadiahnya, dan selamat menempuh hidup baru, mas arista adalah harta ku yang paling berharga"dan kuberikan selamat kepada mas ariesta setelah acara akad, dan kupeluk mas Ariesta dengan lingan air mata kebahagian. Alhamdulliah ya Allah, kau bukakan hidayah yang besar kepadaku! Jilbab Biru itu kembali kuletakan dalam kotak penyimpanan yang terbaik di dalam tempat yang kubuat istimewa, dan jilbab ini adalah harta ku yang paling berharga yang kumiliki.
19 Maret 2008
Cikarang-Sanyo
Catatan: Cerpen ini gubahan dari cerpen "ketika mas gagah pergi" karangan mba Helvy Tiana Rosa. abis cerita nya keren sih
Label: Cerpen
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar