IqEwVr5RYHY5lcozd7fQs7f4kHQ
Kakek Tua - Bisik Angin Tuk Bidadari

Kakek Tua

Dipojok sana aku sering melihatnya dengan semangat pantang menyerah, Kakek tua itu menjajakan Jasa untuk bekerja apapun, dengan modal pengki , dan Sebuah cangkul yang selalu digenggamnya untuk mencari rezeki. Pernah suatu waktu aku mempekerjakanya untuk membantu membersihkan halaman rumah yang tak seberapa."Pak, Bisa bantu saya membersihkan halaman rumah" sapaku saat itu.

Dengan senym sumringah kakek tua itu bekerja membersihkan halaman rumahku, dan dengan rajinya dia bekerja tanpa mengeluh \. "pak ini ada Pisang goreng, dan Kopi" sepintal lalu aku memberi makanan kepada kakek tua itu karena aku tahu bahwa membersihkan rumah ku memang melelahkan. Setelah selasai semua, "berapa saya harus membayar bapak" tanya ku setelah selesai dia merapihkan semua pekerjaanya. "terserah Anak saja" jawabnya singkat, walau dari wajahnya aku lihat sebuah senyuman berharap. Dua Lembar uang ratusan ribu kepadanya. "tidak salah nak, ini terlalu banyak" ucap kakek itu. "terimalah kek, sebagai ucapan terimakasih saya" ucapku memperhalus maksud membantunya.

ketika Langit masih terlihat kelam. Semburat awan kelabu masih mewarnai birunya langit. Pohon – pohon terlihat basah dengan butir – butir air yang masih menempel di daun. Cekungan air berwarna coklat terbentuk pada ruas jalan yang berlubang. Tiap harinya jalan yang sudah berlubang di sana - sini itu, dilalui banyak kendaraan dari truk pengangkut pasir sampai sepeda. Tapi pagi ini, hanya satu dua kendaraan yang terlihat melewati jalan ini, mungkin karena hujan yang baru saja turun.

Di sisi jalan inilah, setiap hari Kakek tua itu berjalan menyusuri tepian jalan, mencari rezeki demi keluarga dengan menjual kayu bakar. Tubuhnya kurus kering, pakaiannya kumal, deretan giginya sudah tidak utuh lagi dan barisan rambut putih telah memenuhi seluruh kulit kepalanya. Walaupun begitu, semangat kakek untuk bekerja tak pernah surut. Seperti semangatnya ketika membela tanah air di masa perjuangan.

Dulu, dengan gagah berani, kakek tua itu pernah bercerita bahwa dia bersama pejuang lain berhasil melawan penjajah dalam peristiwa Hotel Yamato di kota pahlawan ini.Pertempuran sengit di hotel yang kini bernama Hotel Majapahit itu berawal dari penjajah yang berani mengibarkan bendera merah putih biru di atas Hotel Yamato. Saat itu, semua arek Suroboyo merasa terhina dan bertekat mengganti bendera itu dengan bendera merah putih milik Indonesia.

Pertempuran hebat tak bisa dihindarkan, dengan senjata seadanya, mereka melawan penjajah yang bersenjatakan pistol. Beberapa
arek Suroboyo mencoba mempertaruhkan nyawa mereka, termasuk sang kakek, dengan memanjat dinding Hotel Yamato dan berusaha merobek warna biru dari bendera tersebut. Penjajah yang tak mau kalah, menembaki dari bawah semua pejuang yang berusaha memanjat menuju atap hotel. Banyak pejuang yang gugur bersimbah darah dengan pekik perjuangan yang masih menyala. Tapi, akhirnya mereka berhasil merobek warna biru dari bendera tersebut dan menjadikan sang merah putih berkibar di sana.
Sang kakek masih ingat peristiwa itu. Bagaimana kerasnya ia dan teman – teman seperjuangan berjuang mempertahankan kemerdekaan, bagaimana ia melihat satu per satu temannya gugur bersimbah darah dan bagaimana ia dan pejuang lainnya mengusahakan hidup merdeka untuk generasi selanjutnya.

Hingga hari tuanya tiba, tiada kebahagiaan yang berarti selain melihat Indonesia tersenyum. Walaupun tanda penghargaan tertinggi sebagai pahlawan tiada disandangnya. Sambil terus berjalan menyusuri jalan, sambil membawa pengki dan sebuah pacul kakek tua itu berharap ada orang yang memekai jasanya untuk pekerjaan apapun

Sang mentari mulai membagikan kembali sinarnya hari itu tak satu pun orang memkai jasanya. Jalanan yang tadinya lengang dan hanya satu dua kendaraan saja yang lewat menjadi sedikit lebih ramai. Beberapa truk pengangkut pasir lewat dengan pasir bawaannya yang menggunung. Di sampingnya ada pengendara motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Sang pengendara yang tidak sabar berusaha mendahului truk tersebut. Truk pengangkut pasir yang tidak siap dengan keadaan ini, tak bisa mengerem mendadak sehingga kehilangan kendali dan menabrak pengendara motor itu. Motor tersebut langsung terlempar ke sisi jalan dan……. Brakk!!!

Semua orang di sekitar tempat kejadian segera berlari untuk melihat apa yang terjadi. Sesosok tubuh kurus kering dan bersimbah darah tergeletak di dekat motor yang tadi terlempar, beberapa kayu bakar yang basah, jatuh berserakan di dekatnya. Di dekatnya lagi terdapat sang pengendara motor dengan helm yang masih melekat di kepalanya yang sudah tak bernyawa lagi. Orang – orang hanya bergumam, “ Kasihan kakek tua itu “
Gemuruh petir kembali menggema. Sinar sang mentari tak mampu menghalangi sang langit untuk menangis. Rintik – rintik hujan turun perlahan. Mengiringi kepergian sang pahlawan yang dulu telah mempertaruhkan hidupnya demi generasi muda. Kembali ke Sang Pencipta dengan seribu jalan kebaikan.

Tiada kata yang bisa menggantikan arti pengorbanannya. Yang setia bertaruh jiwa raga, meskipun kata “Sang Pahlawan” tiada dikenang orang. Walaupun kini hanya kata “Si penjual kayu bakar” yang melekat di hati orang,tapi tidak di masa lalu. Saat itu kata “Pahlawan”-lah yang melekat di hati mereka. Selamat jalan Pahlwan ku, selamat jalan Kakek tua... tering doa yang kuucapkan padanya...

0 komentar: