IqEwVr5RYHY5lcozd7fQs7f4kHQ
Bayangan Kekasih - Bisik Angin Tuk Bidadari

Bayangan Kekasih

Angan ku kembali berpihak kepada Novita kekasih sejatiku, yang sangat kuigini, kami saling mencintai, tapi takdir memisahkan aku dengan dirinya lagi. karena aku berjumpa dengan novita 3 bulan sebelum aku meinkah dengan Intan istri ku saat ini. Bayangan novita begitu erat menghantui setiap langkah yang kuayun dalam hidupku.

Setelah kukuatkan tekad yang kupunya, Ini kesekian kalinya aku ingin pergi. Dari rumah yang lima tahun lalu kubeli dari tabungan saat ku pertama bekerja, ku cicil sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi tempat berteduh bagiku dan Intan, istriku. Tapi kemudian aku tidak lagi merasa nyaman, ketika peristiwa itu terjadi di suatu malam, setelah aku kelelahan menulis. aku bertegur sapa dengan seorang gadis yang sangat anggun dan begitu mempesonaku berjumpa dengannya

Dan dia telah mengambil tempat di hatiku yang paling dalam dan dia telah menjadi kekasih hatiku, dan kami saling jatuh cinta. dia begitu mencintaiku, dan dia mengagumiku dari beberapa tulisan yang telah aku buat, Ia bilang telah menungguku begitu lama. Hingga tergurat luka rindu yang merentang panjang di antara aku dan dia. Waktu itu aku menatapnya tajam dan ia tertunduk malu. Kukatakan padanya aku akan datang menujunya. Ia bertanya, "Kapan?", seolah tak percaya pada perkataan dan janjiku. Kujawab, "Segera." Dan dia berjanji untuk menungguku hingga aku bisa kembali berdua memadu kasih dengannya.

Setelah pertemuan itu aku mencoba mencari cara agar aku terus bisa berjumpa dengan Novita, sesok yang seharusnya tidak boleh ada dalam relung nurani, karena aku telah memiliki intan sebagai kekasih ku. "Oh tuhan apa yang harus ku lakukan, aku mencintai nya, dan rasa ini terlalu menggebu, aku mencintai intan" ucapku dalam hati.

Aku terus mencoba untuk pergi dari rumah untuk meninggalkan intan tak pernah ada yang berhasil. Aku masih di sini, di rumahku bersama Intan, istriku. Saat itu intan tidak tahu tentang rencanaku untuk pergi. Ia hanya sesekali bertanya dan merasa curiga padaku. Katanya sikapku semakin aneh di matanya. Biasanya aku meredam kecurigaan istriku itu dengan memeluk tubuhnya erat-erat. Mencium keningnya dan berkata, "Tidak ada yang aneh. Semua biasa saja." Setelah itu intana diam. Dan aku tidak merasa bersalah sama sekali karena ketidakjujuranku.

**********************
12.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku.

Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara bayangan Novita begitu jelas, teringat janjiku padanya "Mas kapan kamu akan datang kepadaku" ucap bayangan Novita begitu menggoda dan menggangguku, membuat aku semakin pusing tujuh keliling.

Jujur ku akui Beberapa kali kekasih hatiku datang menemuiku. Terutama ketika intan tidak sedang berada di sampingku. Kulihat wajah kekasihku kian mengkerut dan tampak kelelahan. dalam menungguku. dalam perbincangan itu dia begitu menginginkanku, dengan padangan muka manja dia terus menggoda ku.

"Kau kenapa?" tanyaku ragu-ragu karena cemas. Aku laki-laki pencemas. Terutama terhadap seorang yang kucintai.

"Terlalu lama aku menunggumu. Terlalu lama aku memetiki penanggalan hanya untuk menghitung waktu kedatanganmu yang palsu. Kau lihat, jari-jariku telah kaku dan membiru. Tubuhku beku tak terjamah pelukanmu. Kepulan asap putih yang menerbangkan rindumu padaku semakin mengabur. Melemah. Dan aku mulai tak sadarkan diri di kesendirianku yang panjang. Tapi kau tak datang juga padaku. Bahkan semakin jarang mengintip dan mengetuk pintu rumahku. Kau mengurung diri dalam kematian singkatmu yang menyedihkan. Bersama jiwa-jiwa yang tak benar-benar hidup. Kau menduakanku dengan kesementaraan. Sedang penantian dan cintaku adalah abadi bagimu. Aku menunggumu dalam kehidupan, tapi kau mengubur diri di makam yang kau lihat subur itu. Kita terlampau lama terpisah."

Aku melihat jelas mata kekasih Novita meredup. Kuulurkan tangan dan kukatakan padanya aku merasakan hal sama. Rindu yang menuntut penuntasan yang segera. Aku pun sangat menginginkan dalan mengisi hidupku. Aku menginginkan dia jadi Pendampingku untuk selamanya

"Aku akan pulang. Untuk bersamamu," kataku.
Tetapi tubuh Novita berguncang. Seperti tertiup angin malam, ia berangsur menghilang dari hadapanku. Aku makin mencemaskannya yang pergi tanpa sempat berkata apa-apa lagi padaku.

*************************

Tanpa pikir panjang, esoknya aku memutuskan pergi. Sengaja aku tak membawa apa pun dari rumahku, karena aku tahu Intan akan membutuhkannya jika aku tak ada di sisinya lagi. Namun baru sampai teras rumah, intan melihatku. Nafasnya naik turun menangkapku yang berniat pergi. Ia marah padaku.

"Kau mau pergi? Meninggalkanku?" tanyanya dengan ketus.

Aku menjawab dalam hati. "Ya, istriku. Aku akan pergi. Dan kau tahu itu, pergi berarti meninggalkan. Tapi aku bukan mau meninggalkanmu. Aku akan meninggalkan kesementaraan ini. Kekasihku menungguku dalam kehidupan abadi. Maka aku akan pergi, jauh dari kematian hati ini berasama dirimu disini dirumah ini."

Intan , istriku, memasang wajah kecewa. Dilipatnya gurat-gurat kebahagiaan yang selama ini menghiasi tulang pipinya yang merona. Sinar matanya meremang. Seperti mata Novitakuku yang lelah menungguku. Aku mendadak cemas. Bukan pada Intan, tapi pada dia Novita. Rasanya aku akan gagal lagi, untuk pergi dari sini. Intan, istriku, menahanku. "Jangan pergi," katanya. Langkahku terhenti. Bayangan Novita hilang di benakku.

Intan memenjarakanku dalam peluknya yang berbau kematian. Nafasku sesak mengingat kekasihku yang jauh. Jangan kemari, kekasihku. Batinku. Kalau tidak, kau akan terbakar cemburu dan menangisiku yang bercengkerama bersama jiwa yang tak abadi ini. Kubiarkan Intan terus memelukku erat. Peluklah aku sekuat yang kau mampu perempuanku. Tapi kau tak akan pernah memeluk jiwaku. Karena jiwaku telah pergi terbawa rindu kekasihku Novita. Dan kau tak pernah tahu itu.

"Katakan. Kenapa kau ingin meninggalkanku?" tanya Intan di antara pelukan panjangnya.
Aku harus pulang, Intan. Menemui kekasihku yang abadi. Kau hanya jiwa yang terkurung dalam makam kesementaraan. Kematian singkat yang menyedihkanku. Dan kekasihku sudah terlampau lama menungguku. Seperti aku juga merindukannya sejak dulu.

Kini kami telah bertemu dan saling jatuh cinta. Menyatukan cinta yang terpisah lama dalam rentangan dua kejadian. Kau dan aku, di sini hanya sebuah kematian. Seperti pelukan ini yang kau tawarkan padaku. Membuatku mual oleh aroma kehinaan. Aku harus pulang, Intan. Dan aku tak perlu meminta maaf karena semua ini. Jangan menahanku dalam kedukaan ini, istriku. Mengapa tak kau temui saja kekasihmu seperti aku menjumpai kekasihku? Tidakkah kalian juga saling merindu? Dan kita tinggalkan pemakaman ini. Terbang menuju rumah cinta kekasih-kekasih kita.

*******************************

"Mengapa kau diam? Sudahkah tidak ada yang berharga lagi di sini bagimu?" Intan makin erat memelukku.
Ayolah, Intan. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya menjadi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batu yang kau injak. Bahkan aku tak dapat tumbuh membesar. Aku mati dalam kekerdilanku. Kelemahanku. Kesementaraanku yang sangat singkat. Melindungimu pun aku tak dapat. Lepaskan genggamanmu yang melukaiku, istriku. Atau lemparkan saja aku ke arus sungai yang beriak dan menampar wajahku dengan kasar. Agar aku tersadar, dan tak lagi menyurutkan diri ke dalam lubang kematian yang memanggilku berulang-ulang. Melarangku untuk pergi, dan memelukku dengan aroma kematian yang mencekat. Intan, aku akan pergi. Pulang menuju kekasihku. Dan aku tak perlu minta maaf padamu.

"Kau tidak mencintaiku lagi?"
Intan, istriku, membentengiku dengan pagar-pagar ketakutan dan kesedihan miliknya. Ia menyalahkan dirinya atas kepergianku. Sungguh, perempuan yang mengajakku pada kematian Hati, aku tak berani mencintai yang lain selain kekasihku. Tidakkah kau tahu aku begitu bahagia bisa bertemu dengannya lagi dan merajut percintaan abadi? Lalu kenapa kau ingin menarik kedua tanganku untuk kembali jatuh terguling-guling di dasar kesedihan? Mengapa kau minta dadaku hanya untuk menangisi kesementaraan? Intan, kau buat dadaku hancur tertusuki duri-duri bening yang mengesalkanku. Aku mulai tak tahan.

"Jangan katakan kau punya seorang yang lain," Intan mengisak.
Aku bertemu dengannya di suatu malam yang terang. Ya, aku mempunyai seorang yang lain. Kekasihku dari kehidupan yang abadi.

"Aku takkan melepaskanmu."
Intan, istriku, ini ancaman darimu? Apakah kesementaraan dapat mengancam sebuah penujuan keabadian? Aku akan pulang bersatu dengan kekasihku. Intan, sudahlah. Biarkan aku pergi.

Dan Intan tetap memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Semalaman aku dikuburnya dalam-dalam.

Kekasihku datang menemuiku dalam satu kesunyian. Intan tengah terlelap dalam mimpi malamnya. Lagi-lagi Novita kekasihku mengajakku untuk bersatu dengannya. "Apa yang kau tunggu? Sampai kematian itu memanggil dan merebutmu lagi untuk tenggelam dalam kesedihan ini?" Kekasihku mengulurkan tangannya kepadaku.

"Intan adalah kematian yang ingin selalu mengurungku di sini. Ia adalah kematian yang memiliki warna kesedihannya sendiri. Yang dapat membuatku selalu jatuh dan kembali padanya."

"Pulanglah. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Kematian itu sudah terlalu lama melakukannya padamu dan jiwa-jiwa lainnya. Mengapa kau masih ingin memelihara tangisan yang merugikan?"

Kutatap kekasihku yang begitu lama kurindu. "Aku pulang bersamamu," kataku. Dan aku bangkit meninggalkan rumahku, menuju rumah cinta bersama kekasihku.

Dan ini adalah yang kesekian kalinya Intan mencoba menahan kepergianku. Tubuhnya hanya terbalut pakaian tidur tipis ketika mengejarku. Tidak, jangan lagi. Pikirku.

"Baiklah. Kau boleh pergi. Bukankah kau selalu ingin pergi? Seperti dulu, saat kau berkeras ingin menjadi seorang penulis. Kau juga mengatakan itu sebagai kepergian atas sebuah panggilan. Kau bilang aku tak sampai untuk mendengar panggilan itu. Seperti itukah kali ini yang kau lakukan? Dan kau menyuruhku untuk melepasmu lagi, seperti dulu kubiarkan kau pergi di jalan kepenulisanmu yang nyata-nyata nyaris membunuhku? Betapa egoisnya kau."

Suara Intan menjadi petir di malam itu. Benarkah? Batinku. Mungkinkah kematian ini menemui mati yang kedua kali karena sebuah kepergian? Peninggalan? Intan, istriku, kali ini kau memanggilku dengan cara yang berbeda. Kesedihan yang lain. Tapi mengapa aku harus menoleh dan mendengarkan? Mengapa aku harus melupakan kekasihku dan menemuimu kembali? Mengapa aku harus menemanimu dalam kematian ini untuk terus bersedih dan tenggelam dalam kesementaraan? Bagaimana dengan kekasihku yang menungguku begitu lama? Aku demikian cemas. Terhadap kekasihku yang mulai melenyapkan dirinya di benakku.

Intan mendekat. Menghampiriku yang mencari bayang kekasihku yang hilang. Setengah sadar, aku sudah berada dalam pelukan yang sangat kukenal. Pelukan beraroma kematian. Intan mendekapku erat. Jiwaku terus memikirkan kekasihku yang entah ke mana. Tunggu aku, kekasihku. Aku akan datang. Segera.

Aku berduka. Karena penyatuan yang sekali lagi harus tertunda. Tapi pikiranku memberiku jalan lain. Mungkin kelak aku mesti mengajak Intan, istriku. Untuk meninggalkan kematian ini. Berkenalan dengan kekasihku yang abadi. Tetapi Ma
ya memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Malam itu, dan malam-malam yang lain. Tunggu Aku Novita, kita akan bersatu dalam angan dan menebus segala penantian mu. Karena aku begitu mencintimu dalam hatiku.. mencintaimu dengan Hatiku kekasihku

0 komentar: