IqEwVr5RYHY5lcozd7fQs7f4kHQ
(cerpen) Selingkuh - Bisik Angin Tuk Bidadari

(cerpen) Selingkuh

Selingkuh
By: Erwin Arianto
Depok, 24 Maret 2008

Keinginan itu muncul lagi walau sudah kucoba untuk menguburnya dalam-dalam. Tapi, ia rupanya tak mudah menyerah, kali ini. Tiba-tiba saja ia datang mengahmpiri benakku. Begitu lama ia menari di pikiranku. Memaksa aku agar menuruti keinginannya. Ia begitu lincah bergerak, setiap aku mau menghindarinya¡mencoba untuk sembunyi tak pernah lepas dari sergapannya. Meneteskan secuil mimpi

yang indah¡lepas di awan, terbang di hamparan langit biru.

Dari mana sebaiknya kumulai jalinan yang rumit kita ini? Darimu, dariku, dariNya? Atau, dari hati paling dalam: hatimu, hatiku, hatiNya? Ah, entahlah. Lama kurenung sepenuh pertimbangan, tetapi sejujurnya, aku belum menemukan arah yang pasti. Tetapi, sudahlah. Begini saja lebih baik. Kita bersepakat dalam perasaan yang penuh teka-teki. Bukankah hubungan tak selamanya harus terbuka? Jadi, karena kau masih menyimpan perasaanmu, sementara Dia tentu saja tahu, bagaimana bila kumulai dari awal pertemuan kita? Aku tahu, pasti kau tertawa, dan Dia bergumam, "Ah, ada-ada saja."

"Raisa, aku tak dapat menolak permintaan takdir, aku tak sanggup membantah. Apalah kekuatanku yang hanya seorang insan yang lemah. Setelah kecambuk di dalam dada Tapi akhirnya ini jualah yang aku alami." Masih kuingat kata demi kata yang tertulis berat di surat itu. Biarkan. Biarkan matahari tersenyum di balik dedaunan. Biarkan burung-burung berkepakan di reranting hijau. Biarkan alam raya ikut tertawa bersama kita. Bukankah keindahan pertanda kemesraan menyulam hubungan kita?

"Kau memang bodoh!" Sebuah suara mendengung tiba-tiba, tajam mengejekku. Suara siapakah? Mungkinkah suara malaikat? Atau, suara Tuhan yang menegur ku?

Bukan. Aku tahu itu bukan suaraNya. Pasti bukan Dia yang menegur dengan keras di tengah siang. Sebab, siapa pun percaya, suaraNya lebih lembut dari dentingan harpa, lebih merdu dari lagu burung-burung menyambut pagi.Duh. Benarkah aku bodoh? "Kau memang bodoh! suara itu kembali mendesing di telingaku. Nyaring dan menusuk jantung. Demi keinginan semu, kau membuang hal terbaik yang telah kau terima."

Aku terpana. Lama mereka-reka makna kebodohan yang ditujukan kepadaku. Dan, aku menghempas resah, menyadari kebodohanku. Ah, entah mengapa, aku malah grogi saat berbincang dengannya. Ya, di depanmu, saat itu, aku jadi kurang konsentrasi. Rasanya aku ingin memukuli kepalaku sembari bermunajat meminta ampun pada mu Ya Allah: "Astagfuirullah! subhanallah! Allahu akbar! Berhentilah untuk memikirkan keindahan tubuh perempuan yang bukan milikmu! Berhentilah bermimpi!

harus kusingkirkan jauh keinginan itu, sejauh aku bisa. Malah, aku harus terus bangun dasar-dasar kokoh pernikahanku yang suci. Tentu aku tak ingin buah-buah pernikahanku membusuk oleh nafsu tololku. O, mengapa aku jadi begini? Haruskah aku selemah ini? Maka, kuserukan agar Dia mengerbangkan tangan, membungkusku dalam kuasaNya.

"Untuk apa kau ditolong?" tiba- tiba suara itu kembali menegurku.

"Agar aku tidak tersesat ya Robku!" balasku pada suara itu

"sadarlah! Bukankah selama ini kau tersesat?"

"Ya, Kau adalah Insan tersesat di lorong kekelaman."

Bahkan, kau senantiasa bangga atas kesesatan itu, dan menari-nari dalam lumpur kesesatan yang menenggelamkanmu.

"Aku tahu... dan aku tidak bisa terlepas, semakin menikmatinya"

"Lalu, mengapa kau bersujud setiap malam, dan bercucur air mata meminta pertolonganku?"

"Karena Hamba ingin kembali. Tak kuasa hamba keluar dari lubang lumpur jika sang Maha kuasa tak menolong," jawabku serak. "Tanpa Dia, aku akan semakin tersesat. Itu sebabnya, kumohon dengan sangat, Dia mengulurkan tangan," lanjutku mulai terisak-isak. Tanpa kusadari airmataku mengalir mencari muara.

Kulihat seperti Tuhan pun tersenyum. O, dalam senyum-NYa, kulihat paras istriku. Dan, kau tertawa. O, dalam tawamu, kudengar keluargaku. Alhamdulilah, betapa gembira aku, sesuatu yang nyaris hilang oleh ketololanku keluargaku adalah anugerah tak terhingga.

Rumah tanggaku adalah jejak langkahku menuju hari esok yang lebih baik. Keluargaku adalah ikatan suci kehidupanku. Lalu, mengapa harus kutepis basuh keindahan? Mengapa harus kunodai selendang putih dengan gelitik berselingkuh? O, dosa , terkutuklah aku!

*******************

"Bolehkah kita Bertemu Mas?" tanyamu Raisa sesaat sebelum aku berlalu bersama waktu .
Aku terdiam. Di dalam hati aku bilang, tidak. Tetapi, edan, kepalaku mengangguk. Boleh. "Silakan," tanggapku.

Seminggu kemudian, kala hujan gerimis menghias jendela senja, kuterima SMS darimu: "Mas, aku ingin menjadi sahabatmu. tidak keberatankan mas." Pesan singkat itu ternyata memperpanjang hubungan kau dan aku. Sehingga hatiku jadi geleng-geleng kepala. Maka, godaan kembali menggelitikku. Bisikan iblis kembali menyeruak dada. Ya Allah dimanakah engkau, bantulah aku mengatasi permasalahan ini

Tetapi, entah kenapa aku semakin larut dalam lautan kelabu. Jurnalis? Cita-cita Aneh apa itu? Mengapa kau tidak memilih menjadi diplomat, bankir, atau sekretaris? Parasmu cantik.

Kulitmu kuning langsat, mulus selembut sutra. Rambutmu panjang, agak pirang. Matamu bulat cemerlang. Apa lagi yang kurang? Mengapa tidak menjadi model saja? Malah,meski aku belum tahu bakatmu, aku yakin, kau dapat menjadi artis sinetron, dan bakal sejajar dengan bintang-bintang lainnya yang berpendaran di langit jingga.

Tanpa kusadari, aku kembali terayun-ayun di ujung tali kebimbangan. Haruskah kujawab? Atau, kudiamkan saja? Ah, aku memutuskan untuk tidak merespons, tetapi konyolnya, tanganku malah meraih HP dan membalas via SMS.

Sejak itu, aku dan kau terus saling berbalas kabar, mencoba tak peduli atas kegelisahanNya. Astaga! Jika istriku tahu, wah, bisa berabe. Aku bisa dinilai kurang ajar, lelaki brengsek, suami tak bermoral, makhluk hidung belang. Ah, untunglah istriku tak pernah mengutak-katik HP-ku. Tak pernah bercuriga.

Selalu percaya. Dan, kian sempurna kebejatanku karena tega menepis segala kepercayaan istriku untuk godaan selingkuh yang tak jelas. Tetapi, oh, lihat, kita tak bisa lari dari tatapanNya. Sejauh kita pergi, lari, sembunyi, Dia senantiasa mengawasi.

"Raisa.." ratapku memanggil nama gadis manis ini yang telah memudar nafas-nafas cinta di dadaku yang kian sesak

"Raisa, walau bagaimanapun caranya, keputusan itu tak akan dapat dirubah. Sebaiknya Aku harus pergi. Meninggalkan impian kita, melewati batas waktu janji yang aku berikan padamu "
Kutarik nafas dalam-dalam. Pikiran melayang hinggap dilembaran kisah yang termulai

Hasrat itu terus-menerus datang, walau aku tak mengharapkan kehadirannya. Apa boleh buat kedatangannya tak dapat kutolak. Barangkali, aku terlalu sentimen terhadap hal yang satu ini. Ya,
barangkali. Apa harus kuhindari saja? Tak pernah bisa. Bayangannya selalu menghantui, tak
berhenti. Ia ada di setiap langkahku, bergerak di sekujur tubuhku. Membuat aku jadi amnesia.
Barangkali harus kuacuhkan saja apabila ia datang-- kudiamkan agar ia jadi bosan sendiri. Tapi,
itulah masalahnya. Setiap ia berada dekat denganku ada-ada saja yang dikerjakannya. Membuat aku
jadi bingung sendiri. Memaksaku untuk menyapanya. Ber-say Hello ria. Gombal sih. Habis bagaimana
lagi.?

Tahukah kau makna hubungan kita ini? Benarkah aku dan kau berselingkuh? Hubungan saling bertukar informasi dan pendapat tergolong selingkuh? Dapatkah kau jelaskan padaku? Sebab, aku tak tahu. Sama sekali tak kupahami. Demikian aku berusaha berkelit, seperti penyamun. Lihat, Iblis tertawa parau. Burung-burung tertawa, kupu-kupu tertawa mengejek tingkahlaku ku.

**********************************

Di langit, malam tak berbintang. Lampu temaram memoles wajahmu. Angin mengusap dedaunan, memberiku keberanian. Aku menatapmu dalam-dalam. Aku nikmati bolamata raisa yang segar, ingin memetik bibirmu yang ranum. Sementara ular mulai liar, menggerogotiku. Beberapa pekan lalu ular itu menyusup ke dalam jantungku, dan bersarang. Beberapa hari lalu, ular itu menggeliat, gelisah. Kini ular itu meronta ingin memangsa. Oh, di manakah Dia? Mengapa Dia masih diam? Mengapa Dia tidak segera datang menjamah, memutus jalinan busuk ini?

Kau tersenyum teramat sulit kuartikan. Matamu bekerjapan mengalahkan kecantikan kerlap-kerlip lampu. Aku terpana. Semakin mabuk anggur jingga. Aku memang tak tahu menahu hubungan seperti ini, hubungan dua jenis yang berbeda. Yang aku tahu jika rasa itu ada, ya memang sudah kodratnya demikian, dan aku memang tidak begitu peduli dengan hubungan seperti itu, aku tidak peduli, walaupun terkadang ingin merasakannya.

Apakah aku mengetahui segala tentang seorang wanita ini? Tidak juga. Tapi kuanggap ia adalah
wanita yang tidak biasa, yang bersinar-sinar dalam aura magisnya tiap kali berkelebat dari pandanganku. Ah, sebenarnya tidak secara harafiah demikian. waktu itu jam berputar lambat sekali, seolah tak bergerak. Detik-detik yang berupa jarum ketika kupandangi terlihat diam. Apa aku sudah gila sekarang ? Gila melihat kenyataan hidup bahwa dunia tak pernah menyisakan satu ruang pun untuk orang seperti aku ? Dan, nyatanya keinginan semakin kuat dan deras. Bertempur menghadapi hasrat hati. Berjudi sedikit-sedikit terhadap keinginan ini. Apa ini hanya jadi arena taruhan diri? Sehingga diwajibkan untuk ku agar terus melakoni sandiwara yang kita perani.

"Betapa senang hatiku, Mas. perasahabatan ini, kini aku yakin akan rasa kita ini" ceria, saat kita kembali bertemu di rumah kosmu Raisa, tempat pertemuan yang kerap kita sepakati. Dan, aku tak ingat, ini pertemuan yang ke berapa. Pertemuan dengan alasan kamu butuh seorang sahabat yang terus kita lanjutkan, entah sampai kapan. Terima kasih, ya, Mas," bisikmu.

Aku tersenyum juga tak kumengerti maknanya. Sebab, jalinan ini mulai kunikmati. Bahkan, aku mulai berani memunggungiNya, dan sering pura-pura tidak tahu kehadiranNya dalam keperihan. Padahal aku tahu, ke langit pun kita terbang, dengan sayap-sayap fajar kita melayang, Dia pasti tahu. Ah. Betapa terluka hatiNya atas kekejian yang kulakukan. Beberapa kali Dia menangis getir berbaur gelegar petir. Sementara aku tetap berharap kau juga tidak memedulikanNya. Biarkan saja Dia terseret gelombang nestapa. Dan kita merajut jalinan teka-teki ini dalam keringat biru kelabu.


*********************
Dan Senja kala itu, ketika ku teringat dirinya yang ranum dan menawan hati, entah dari mana sebuah buku jatuh dari sebuah almari tempatku duduk, dan sebuah halaman terbuka menuliskan sesuatu nasihat. Abu Umamah bercerita, bahwa Nabi saw. pernah didatangi seorang pemuda dan berkata, "Ya Rasulullah, ijinkan saya melakukan zina." Mendengar perkataan pemuda itu, para sahabat berang dan memarahinya sambil memaki-maki karena dianggap tidak sopan. "Cukup! Bawalah pemuda itu mendekatkepadaku," lerai Nabi saw. Kemudian pemuda itu dibawa mendekat kepada beliau.

"Wahai pemuda," sapa Nabi saw. lemah lembut, "Apakah kamu suka kalau perbuatan zina itu dilakukan
orang lain terhadap ibumu?"

"Tidak, ya Rasulullah. Demi Allah yang menjadikan aku sebagai tebusan anda, saya tidak ingin itu terjadi," jawabnya. "Begitu juga kebanyakan manusia, tidak menyukai atau menginginkan perbuatan zina itu dilakukan terhadap ibu mereka," ujar Nabi.

"Apakah kamu senang zina itu dilakukan terhadap putri-putrimu kelak?" tanya beliau selanjutnya.
"Sama sekali aku tidak menginginkan hal itu terjadi, ya Rasulullah. Demi Allah, bermimpi pun saya
tidak ingin."

"Begitu pula kebanyakan manusia, mereka tidak senang kalau sampai perbuatan zina itu terjadi pada
putri-putrinya. Apakah kamu senang kalau zina itu dilakukan terhadap saudari-saudarimu?" tanya beliau.

"Tidak, ya Rasulullah. Demi Allah saya tidak senang."

"Begitu juga dengan orang lain, sama dengan anda, tidak senang kalau zina itu dilakukan terhadap saudari-saudarinya. Apakah kamu ingin itu terjadi pada bibi-bibimu?"

"Tidak, ya Rasulullah. Demi Allah tidak," tandasnya.
"Kebanyakan manusia juga tidak ingin itu terjadi pada bibi-bibinya."

Nabi saw. kemudian meletakkan tangan beliau pada tubuh pemuda itu dan mendo'akannya: "Ya Allah, ampunilah dosa pemuda ini, bersihkanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya."

Dengan tubuh gemetar dan wajah pucat, aku bolak-balik memandang buku tersebut Aku bukan hanya tidak sanggup berpikir. Mungkin Allah telah memberi petunjuk atas jalanku yang salah. Tapi tubuhkku tenggelam dalam kekakuan yang bisu.

Depok 24 Maret 2008

0 komentar: